LihatSulteng.com – Pemerintah menyatakan skema hilirisasi mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan membuka banyak lapangan pekerjaan.
Meski demikian, kasus kecelakaan kerja yang berulang kali terjadi di industri nikel, seperti di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), justru berbanding terbalik dengan janji kesejahteraan yang ditawarkan pemerintah.
Situasi saling berlawanan itu terungkap dalam investigasi Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia pada catatan bertajuk “Laporan Sengkarut Perburuhan Nikel di IMIP (2024)”.
Dalam laporan tersebut, Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia menemukan, adanya karut marut perburuhan di IMIP berakar dari sistem ketenagakerjaan yang inkonsisten. Mulai dari proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh, instabilitas kontrak kerja, hingga sistem kerja yang memaksa untuk mengambil lembur agar menerima upah layak.
Dalam proses perekrutan, IMIP berperan sebagai penyalur tenaga kerja untuk perusahaan yang beroperasi dalam kawasannya. Artinya semua hal yang berkaitan dengan sistem ketenagakerjaan sangat tersentralisasi.
Akibatnya, IMIP memicu fleksibilitas mutasi buruh atau pemindahan buruh antarperusahaan dan instabilitas kontrak kerja yang berdampak pada kondisi psikososial buruh.
Catur Widi dari Rasamala Hijau Indonesia mengatakan, buruh mengalami penurunan kondisi psikososial karena harus terus melakukan penyesuaian tempat kerja akibat berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain secara sporadis.
Selain itu, sambung Catur, tidak terdapat dokumen pemindahan yang komprehensif. Sebab, perusahaan sekadar menyediakan formulir pemindahan yang harus ditandatangani buruh. Mereka sulit menolak pemutasian sebab akan menerima ancaman pemotongan upah atau dipaksa untuk mengundurkan diri.
Kondisi kerja semacam itu, lanjut Catur, membuat buruh sulit memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan perusahaan karena tidak mengetahui kondisi kerja yang layak dan ideal.
“IMIP menerapkan sistem manajemen terpadu. Ini berbeda dengan yang tertuang dalam PP No.142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri dan PP No.20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri. Izin yang diberikan ke perusahaan kawasan industri adalah Izin Usaha Kawasan Industri yang regulasinya hanya mencakup pengelolaan dan pengembangan kawasan, tapi tidak melakukan pengelolaan ketenagakerjaan untuk perusahaan yang beroperasi di dalamnya. Sebagai perbandingan Kawasan Jababeka MM2100 hanya mengelola kawasan industri, memberi sewa untuk perusahaan dalam kawasan, dan menyediakan infrastruktur. Itu berbeda dengan IMIP,” jelas Catur.
Catur juga menduga, terdapat kebijakan mutasi yang disinyalir sebagai upaya melanggengkan sistem pengupahan rendah lantaran meniadakan promosi dan penggajian berdasarkan masa kerja.
Sekadar informasi, upah pokok di IMIP mencapai Rp3.000.000-Rp3.620.000 per bulan. Sedangkan, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Morowali yaitu Rp3.489.319.
“Untuk menerima upah yang layak buruh harus mengambil lembur di tengah kondisi pekerjaan yang berisiko tinggi. Jika buruh mengambil izin sakit, maka akan menerima pemotongan upah atau pemotongan performa kerja. Jam kerja panjang yang bisa mencapai 12 hingga 24 jam menimbulkan kondisi kerja yang tidak ideal. Apalagi buruh bekerja dengan alat besar di suhu panas dan terpapar bahan kimia, sementara Alat Pelindung Diri (APD) dinilai belum memadai oleh buruh,” tutur Catur.
Situasi itu menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya kecelakaan kerja. Di mana, berdasarkan
pemantauan Trend Asia melalui sumber terbuka, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di kawasan IMIP selama 2015-2022 mencapai 18 insiden, terdapat 15 korban meninggal dunia dan 41 luka-luka.
Sedangkan kasus kecelakaan kerja di seluruh wilayah industri nikel di Indonesia selama 2015-2023 mencapai 93 insiden dengan 91 korban jiwa dan 158 korban luka-luka.
Sayangnya, pemerintah sama sekali belum memberikan sanksi tegas kepada perusahaan walaupun korban terus berjatuhan di sektor industri nikel.
Justru Trend Asia menyebut, kesejahteraan yang dijanjikan oleh hilirisasi tidak bisa sekadar dinilai dari aspek ekonomi semata. Sebab, keuntungan hanya diterima oleh perusahaan. Adapun buruh, masyarakat setempat, dan lingkungan yang menjadi korban.
“Pemerintah mengatakan jika hilirisasi konsisten dilakukan, maka dalam 10 tahun pendapatan per kapita masyarakat Indonesia bisa mencapai Rp153 juta dan 15 tahun tembus Rp217 juta. Tapi, upah yang diterima oleh buruh IMIP tampak tinggi karena disokong oleh berbagai tunjangan. Kenyataannya upah pokok masih rendah,” ungkap Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri.
Menurut Novita, upah itu juga berbanding jauh dengan harga bahan pokok dan BBM yang mahal di Bahodopi, Morowali. Pasalnya, sektor pertanian dan perikanannya telah dibabat untuk pembangunan industri dan sekarang harus menerima bahan pokok dari wilayah lain, misalnya dari Sulawesi Selatan, yang akan memakan ongkos
lebih banyak lagi.
Tak hanya itu, IMIP yang kini gencar memproduksi bahan baku kendaraan listrik demi membantu pengentasan krisis iklim, malah meninggalkan jejak-jejak kotor di wilayah yang menjadi basis operasinya yakni Morowali dan sekitarnya.
Perlu diketahui, IMIP merupakan perusahaan kolaborasi antara Tsingshan Group dari Tiongkok dan Sulawesi Mining Investment (SMI) yang telah berdiri sejak 19 September 2013 atau telah beroperasi kurun 11 tahun terakhir.
Sebelum menjajal produksi komponen baterai kendaraan listrik yang menjadi primadona utama pasar otomotif dunia saat ini, IMIP juga telah menambang nikel dan menjadikannya berbagai bahan mentah seperti nickel pig iron, stainless steel, carbon steel, nickel matte, MHP, electrolytic aluminium, graphite, ferochrome, lithium hydroxide, lithium carbobate, dan lain sebagainya. Bersambung ke bagian II. (RDR)
1 comment