LihatSulteng.com – Keadaan karut marut sistem ketenagakerjaan di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) tak berhenti pada inkonsistensi tata kelola rekruitmen dan upah tidak layak yang diterima buruh, melainkan terus menciptakan pelbagai masalah seperti kecelakaan kerja, adanya perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, hingga rendahnya kualitas hidup.
Beberapa persoalan di atas diungkapkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam investigasi Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia berjudul “Laporan Sengkarut Perburuhan Nikel di IMIP (2024)”.
Direktur LBH Makassar, Aziz Dumpa, misalnya, menyebut kesejahteraan yang dijanjikan dari konsep hilirisasi nikel hanya ilusi.
Aziz bilang, di Bahodopi, yang menjadi lokasi IMIP berdiri, justru hampir saban hari ambulans berlalu lalang merujuk korban kecelakaan kerja dari lokasi insiden ke klinik IMIP maupun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Morowali. Tetapi, peristiwa-peristiwa tersebut seolah tak menjadi sorotan nasional.
“Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak terprediksi. Namun, kasus kecelakaan yang terus terjadi di IMIP adalah sistemik. Sebab, ada pengabaian atas kondisi hingga fasilitas kerja yang layak. Jika ada femisida dan genosida, ini bisa disebut laborsida atau pembunuhan terhadap buruh secara sistemik,” ujar Aziz.
Selain kerentanan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), adanya diskriminasi maupun kekerasan berbasis gender di IMIP. Di mana, salah satunya terlihat pada mendominasinya pekerja laki-laki di antara 91.581 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan 11.615 Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di perusahaan-perusahaan dalam kawasan IMIP.
Dalam temuan lapangan, buruh perempuan umumnya bekerja di control room, tetapi diberikan beban kerja ganda sebab mereka juga diminta untuk membantu pekerjaan di ranah produksi. Akan tetapi, ada disparitas upah antara buruh perempuan dan buruh laki-laki.
Tak hanya itu, sejak dalam proses perekrutan, buruh perempuan sudah mengalami diskriminasi gender. Perekrutan melalui jalur penyalur tenaga kerja atau perusahaan yang menghubungkan calon pekerja dengan perusahaan di kawasan IMIP melakukan praktik jual beli pekerjaan yang menuntut biaya lebih mahal untuk buruh perempuan dengan alasan sulit mencari posisi pekerjaan untuk perempuan.
Catatan yang lebih kritis ialah nihilnya sanksi yang diberikan perusahaan kepada pelaku kekerasan maupun pelecehan seksual. Perusahaan cenderung mendorong penyelesaian secara “damai” untuk kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di lingkup IMIP.
Perusahaan juga tidak menyediakan ruang aman dan nyaman untuk buruh perempuan. Hal ini juga merambah ke hak-hak dasar, seperti sulitnya mengambil cuti haid hingga tidak ada ruang laktasi bagi ibu menyusui. Dari beberapa cerita buruh perempuan, jatah cuti melahirkan ialah tiga bulan.
Namun, anak-anak mereka harus putus ASI, sekitar usia dua bulan atau setelah ibu mereka kembali bekerja sebab IMIP tidak menyediakan fasilitas yang memadai dan mempermudah kerja perawatan untuk ibu menyusui.
Padahal, menurut Sekjen GSBI, Emelia Yanti Siahaan, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan mengakui hak-hak reproduksi perempuan. Tetapi, kenyataan di lapangan begitu rumitnya proses birokrasi untuk seorang perempuan buruh yang akan mengajukan hak cuti haid.
Belum selesai pada perkara permohonan hak-hak reproduksi, sambung Emelia, para perempuan pekerja lebih rentan mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual dibanding pekerja laki-laki. Bahkan, pada kasus tertentu, perempuan buruh dipaksa mengambil pilihan yang tidak berkeadilan.
“Ancaman terjadi pelecehan dan kekerasan seksual selalu ada ketika jumlah buruh perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Apalagi jika mereka bekerja sif malam, kerentanan itu semakin nyata. Buruh perempuan sulit melapor. Mereka lebih memilih untuk mengundurkan diri karena menerima ancaman dari atasan dan pelaku. Penyelesaian yang diambil perusahaan juga jalur ‘kekeluargaan’ agar tidak mencemari nama perusahaan. Ini pola yang terjadi di banyak industri,” kata Emelia.
Perlu diketahui, kehadiran IMIP selama hampir satu dekade mengubah wajah Morowali, khususnya di Bahodopi dan sekitarnya. Salah satu yang bisa terlihat kasat mata ialah perihal lalu lintas, seperti kemacetan panjang di jalur Trans Sulawesi yang berlubang seperti kubangan.
Kemacetan itu dipicu oleh lonjakan jumlah penduduk yang datang ke Morowali, baik untuk berdagang maupun bekerja di IMIP. Akan tetapi, peningkatan tersebut tidak diiringi dengan infrastruktur jalan yang memadai, transportasi publik, hingga sanitasi, seperti pengelolaan sampah.
Kondisi itu mengindikasikan kualitas hidup yang rendah. Walaupun, industri nikel didukung oleh program hilirisasi Presiden Joko Widodo yang bertujuan meningkatkan ekonomi nasional, angka kemiskinan tetap tinggi di provinsi penghasil nikel.
Data BPS Juli 2023 menunjukkan peningkatan angka kemiskinan di provinsi penghasil nikel dari tahun 2022 hingga 2023. Sulawesi Tenggara naik dari 11,27 persen menjadi 11,43 persen, Sulawesi Tengah dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen, dan Maluku Utara dari 6,37 persen menjadi 6,46 persen.
Sunarno, Ketua Umum KASBI menilai, sengkarut yang terjadi di Morowali berakar dari UU Cipta Kerja. Industri nikel seperti IMIP kemudian disebut sebagai program kepentingan publik dengan status Program Strategis Nasional (PSN). Akan tetapi, sebelum UU Cipta Kerja hadir di lansekap hukum, kepentingan publik mencakup kesehatan dan pendidikan.
Namun, dalam konteks perburuhan, lanjut Sunarno, UU Cipta Kerja justru mendorong fleksibilitas tenaga kerja yang mengeksploitasi buruh lewat manipulasi perjanjian kerja dan pengupahan.
Sunarno menyebut, buruh semakin sulit untuk mengambil hak-hak dasar mereka. Selain itu, laporan ini juga
menemukan bahwa buruh mengeklaim fasilitas yang diberikan perusahaan masih belum cukup untuk menjamin kondisi kerja yang adekuat.
Itu bisa dilihat dari minimnya responscepat layanan kesehatan IMIP masih minim. Berkaca dari peristiwa ledakan smelter PT ITSS, Desember 2023, korban dirujuk ke rumah sakit menggunakan truk. Selain itu, keterbatasan armada transportasi yang berdampak pada efektivitas waktu kerja dan istirahat hingga minimnya halte bus yang memadai juga menjadi catatan kritis dari buruh.
“Omnibus law cipta kerja mencita-citakan lapangan pekerjaan. Tapi, kondisi buruh tidak terjamin dari segi K3. Proyek ini sangat diistimewakan, tapi pelanggarannya dianggap biasa saja. Jika pekerja menerima perlakuan yang tidak adil, maka mereka dipaksa untuk memaklumi itu. Karena itu, kita harus melakukan advokasi yang lebih sistematis. Serikat pekerja bisa menjadi penengah aspirasi buruh dan beraliansi bersama untuk menyikapi berbagai pelanggaran di sana,” pungkas Sunarno. (RDR)
1 comment