LihatSulteng.com – Polemik perkara hubungan kerja yang melibatkan PT Guang Ching De Metal Rolling (GCDMR)–salah satu perusahaan di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)–dengan perempuan buruh bernama Heriani, terus bergulir.
Kali ini, giliran salah satu petinggi PT GCDMR bernama Rakha yang berposisi sebagai Human Resources Development (HRD), ikut mengeklaim bahwa Heriani pernah disarankan untuk menjalankan proses sesuai peraturan yakni pemberian sanksi kepada perempuan buruh PT GCDMR bernama Devita, lantaran dinilai lalai dalam pengisian absensi dengan sistem finger print (rekam sidik jari).
Namun, Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE)-IMIP, Henry Foord Jebbs, membantah adanya instruksi dari pimpinan PT GCDMR kepada anggotanya bernama Heriani yang berposisi sebagai admin absensi merangkap disipliner.
“Anggota kami (SBIPE, red) atas nama Heriani mengaku, sebelumnya dirinya tidak pernah disarankan atas hal tersebut dan nanti dilakukan pengecekan setelah Heriani menyelesaikan masalah tersebut dengan pekerja bernama Devita. Heriani juga sempat menanyakan hal seperti ini (pemberian sanksi jika tak melakukan absensi finger print) kepada beberapa admin absensi dan disipliner sebelumnya, tetapi tidak pernah mereka laporkan kepada atasan,” ungkap Henry.
Henry juga membenarkan, bahwa Heriani juga sudah mendapat peringatan dari HRD PT GCDMR Rakha, terkait status kontraknya dengan PT GCDMR atas polemik ini.
“Heriani bilang kalimat HRD yang mengatakan bahwa dirinya terancam kehilangan pekerjaan, benar adanya. Artinya, sebelum 07 Oktober 2024 sudah menjadi detik detik terakhirnya bekerja di PT GCDMR,” tutur Henry.
Sementara di kesempatan terpisah, Kepala Departemen Seni dan Kebudayaan SBIPE, Roesmanto, menegaskan semestinya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bukan ditujukan kepada Heriani yang berstatus admin absensi merangkap disipliner, melainkan atasan langsungnya.
Menurut Roesmanto, sanksi yang diberikan kepada Heriani memakai Pasal 43 poin (ab) Peraturan PT GCDMR justru salah alamat. Seharusnya, lanjut Roesmanto, sanksi Surat Peringatan Kesatu (SP-1) diberikan kepada supervisor PT GCDMR bernama Veronika.
“Saya sampaikan ini berdasarkan bukti-bukti yang telah kami (SBIPE, red) kumpulkan. Secara organisasi, kami juga telah mengajukan perundingan secara Bipartit untuk dilaksanakan pada 20 September 2024. Tetapi, PT GCDMR menunda rencana perundingan tersebut karena ada agenda resmi PT GCDMR sehingga direncanakan kembali pada 23 September 2024,” jelas Roesmanto.
SBIPE juga mendesak agar PT GCDMR menghadirkan SPV-nya bernama Veronika lantaran dianggap telah merusak citra IMIP sebagai proyek strategis nasional (PSN) dan apabila terbukti melanggar maka PT GCDMR harus memecat Veronika.
Kendati demikian, SBIPE juga menyampaikan bahwa HRD PT GCDMR atas nama Rakha seolah berubah pikiran karena polemik yang terus bergulir dan ramai menjadi atensi publik.
“SBIPE mengapresiasi niat baik HRD PT GCDMR yang berkeinginan agar perselisihan ini bisa diselesaikan antara SBIPE dengan PT GCDMR, guna mencari jalan keluar terbaik. Tetapi, tentu SBIPE merasa pilihan terbaik adalah jika PT GCDMR membatalkan rencana PHK Heriani,” terang Henry.
Perlu diketahui, sebelumnya SBIPE mengecam rencana PHK sepihak kepada salah seorang perempuan buruh PT GCDMR bernama Heriani yang juga berstatus anggota SBIPE. Bahkan, SBIPE menyebut IMP lebih mementingkan investasi alih-alih mengusut tindakan intimidasi yang dialami karyawan PT GCDMR meski menjalankan tugas sesuai peraturan.