LihatSulteng.com – Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi-Indonesia Morowali Industrial Park (SBIPE-IMIP) mengecam pemberlakuan Surat Peringatan Pertama (SP 1) berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak PT Guang Ching De Metal Rolling (GCDMR) kepada seorang perempuan buruh bernama Heriani.
Menurut Ketua SBIPE-IMIP Morowali, Hendrik Foord Jebbs, pemberian sanksi kepada Heriani yang sekitar lima bulan terakhir bertugas sebagai admin absensi merangkap disipliner di Departeman Roling Stainless Steel (RSS), sama sekali tak melakukan pelanggaran berat yang berimbas pada dikeluarkannya Heriani dari perusahaan.
“Apa yang dituduhkan kepada Heriani oleh supervisor (SPV) tidak berdasar dan mengada-ada, sehingga kebijakan SP 1 yang diberikan kepada Heriani cacat hukum. Karena tidak memenuhi syarat formil dan immateril, maka kami menilai kebijakan sanksi tersebut batal demi hukum,” kata Hendrik dalam rilis yang diterima LihatSulteng.com, Minggu (15/9/2024).
Perlu diketahui, Heriani dalam aduannya kepada organisasi pekerja di Morowali tersebut, mengaku mendapat sanksi SP 1 pada 26 Agustus 2024, hingga pengakhiran kontrak kerja dari manajemen PT GCDMR melalui SPV atas nama Feronika yang juga merangkap sebagai juru bicara perusahaan.
Sesuai pengakuan Heriani, masalah yang dihadapinya bermula ketika perempuan buruh lain di PT GCDMR bernama Devita (admin safety), beberapa kali terlambat dan lupa mengisi absensi kehadiran melalui mesin fingerprint antara 4-19 Agustus 2024.
Bagi Heriani, kelalaian Devita tak sepenuhnya menjadi kesalahan fatal yang harus diterima Heriani. Sebab, Devita juga tengah mengikuti penugasan resmi mengikuti pelatihan di kantor HSE yang jaraknya terpaut sekitar 10 kilometer dan perlu menaiki bus umum dengan sistem dua kali transit di kawasan IMIP.
“Informasi yang saya dapat, Devita berstatus pekerja baru yang belum mendapat induksi dengan baik dan benar soal pentingnya aturan absensi memakai fingerprint. Sementara berdasarkan pelatihan yang saya ikuti soal aturan fingerprint dan hukuman, termasuk pedoman dari admin absensi dan disipliner sebelumnya, masalah semacam ini seharusnya dilakukan disipliner tanpa melibatkan pimpinan,” ungkap Heriani, mengutip keterangan tertulis SBIPE.
“Namun, apa yang sudah saya lakukan justru mendapatkan respon yang tidak baik dari SPV (Feronika) bahwa tindakan saya terhadap Devita menyalahi perintah atasan. Sedangkan, saya tidak pernah mendapatkan perintah terkait hal tersebut,” tambah Heriani.
Heriani bilang, kendati Devita lalai mengisi absensi via sistem beberapa kali, tetapi dirinya belum bisa memberikan sanksi berupa SP 1 karena Devita belum memenuhi pelanggaran sebagaimana pasal 43 Peraturan Perusahaan (PP) PT GCDMR tentang Sanksi Keterlambatan Tanpa Izin Atasan Langsung.
“Tapi, justru saya yang notabene staf disipliner yang diberikan sanksi SP1 oleh SPV (Feronika) dengan berdasarkan PP GCDMR Pasal 43 poin ab yang berbunyi tidak dapat menyelesaikan instruksi atasan atau perintah kerja dengan batas waktu yang telah ditentukan dan tidak melaporkannya,” kesal Heriani.
Meski beroleh sanksi yang cenderung dipaksakan, tetapi Heriani tak patah arang. Berdasarkan keterangan SBIPE,
melakukan pengaduan secara langsung kepada Human Resources (HR) di Kantor General Affair (GA) dan mendapatkan respon dari HR bahwa akan didiskusikan dengan Feronika selaku SPV.
Hanya saja, lanjut Hendrik, Heriani pada 13 September 2024 justru memperoleh jawaban bahwa kontrak kerjanya akan diakhiri alias PHK dan tak diberikan akses menuju kantor GA oleh pekerja Tiongkok berposisi SPV dengan sapaan akrab Ccyali.
“Hal tersebut justru membuat Heriani semakin sulit dalam melaksanakan pekerjaan harian sebagai admin absensi dan disipliner. Karena, PT GCDMR adalah perusahaan dengan manajemen terpadu satu pintu yang harus berkoordinasi ke kantor GA sebagai pusat administrasi,” jelas Hendrik.
Hendrik juga menuturkan, pekerjaan pengadministrasian pekerja PT GCDMR yang dilakukan oleh Heriani selama ini cenderung tak manusiawi.
Ini lantaran Heriani harus menata administrasi buruh sebanyak 564 orang seban hari dalam sepekan selama tujuh jam kerja normal, di mana terkadang Heriani terpaksa lembur dan tak beroleh upah lembur demi menunaikan tanggung jawabnya. Apalagi PT GCDMR tengah membangun yang mengakibatkan ketidakteraturan jam kerja karyawan.
Bahkan, sambung Hendrik, Heriani kerap disalahkan oleh Feronika selaku SPV dan Hong Mei, formen asal tiongkok (Hongmei). karena dianggap sering melakukan kesalahan dalam pengadministrasian data buruh. Padahal, dari banyaknya buruh yang banyak yang ditangani oleh Heriani selaku admin absensi merangkap disipliner, sangat tak mungkin dituntaskan kurun enam hari meski tak diberi jatah libur sekali sepekan.
Atas dasar itulah, lanjut Hendrik, SBIPE mengutuk keras perlakuan brutal dan tidak manusiawi dalam penyelesaian persoalan hubungan kerja antara PT GCDMR dengan Heriani. Selain itu, SBIPE turut mendesak agar PT GCDMR: Membatalkan rencana PHK, perlindungan kerja terhadap buruh perempuan sesuai aturan di Indonesia, jaminan layak kerja, penghentian intimidasi, penerapan jam kerja normal, serta seluruh upah lembur kepada Heriani.
“Kami dari SBIPE-IMIP Morowali juga mengajak kepada seluruh buruh di kawasan IMIP secara khusus buruh perempuan untuk terus merapatkan barisan demi meraih keadilan, atas hak yang sama di tempat kerja,” tegas Hendrik.
Redaksi LihatSulteng.com juga sudah mencoba menghubungi SPV merangkap Juru Bicara PT GCDMR, Feronika, untuk meminta konfirmasi terkait kebenaran pemberlakuan sanksi sepihak hingga alasan di balik pemberian hukuman versi penilaian perusahaan. Tetapi, tak kunjung beroleh respons hingga artikel ini tayang. (RDR)
2 comments