LihatSulteng.com – Forum Petani Plasma Buol (FPPB) memberikan “rapor merah” untuk Penjabat Bupati Buol, Muchlis, atas kepemimpinannya sejak selama dua tahun terakhir.
Catatan negatif tersebut dilayangkan lantaran Muchlis yang menjabat mulai 13 Oktober 2022 silam, tak mampu menyelesaikan persoalan konflik kemitraan perkebunan sawit antara FPPB kontra PT Hardaya Inti Plantations (HIP) .
Koordinator FPPB, Fatrisia Ain, mengatakan catatan buruk bagi pemimpin daerah ini perlu untuk diberikan kepada setiap pemimpin yang telah menjabat dan harus diketahui oleh publik, agar publik tau dan tidak lupa atas keburukan seorang pemimpin ketika memegang kekuasaan.
Apalagi, sambung Fatrisia, proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah tinggal menyisakan waktu sekitar satu bulan lagi, tetapi masalah 16 tahun yang mendera para petani di Buol urung mendapat jalan ke luar.
“Khususnya kaum tani agar tidak melupakan para pejabat pemerintahan yang selama ini tidak mendukung penyelesaian masalah kemitraan, terlebih membela kepentingan perusahaan dan mengorbankan kepentingan petani, terutama bagi mereka yang saat ini mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati di Kabupaten Buol,” ujar Koordinator FPPB, Fatrisia Ain, dalam rilis tertulis yang diterima LihatSulteng.com, Jumat (18/10/2024).
Terkait pemberian “rapor merah”, lanjut Fatrisia, pihaknya menyebut Muchlis bukan saja tak mampu mencarikan solusi persoalan petani sawit, tetapi justru menghambat bahkan memperburuk upaya penyelesaian kemitraan sawit yang selama belasan tahun diupayakan oleh petani.
Fatrisia mengungkap, sejak 2023, Muchlis telah didesak oleh para petani melalui berbagai aksi dan rapat dengar pendapat (RDP) demi menyelesaikan masalah kemitraan. Di mana, pada 18 Oktober 2023, Muchlis membentuk sekaligus memimpin tim penyelesaian masalah petani dan koperasi plasma di Buol.
Namun, genap satu tahun tim gabungan yang beranggotakan pejabat dari dinas-dinas terkait, DPRD hingga ketua-ketua koperasi tani kemitraan itu tidak melakukan pekerjaan yang signifikan, apalagi menyelesaikan masalah.
“Bahkan tim tercatat hanya pernah melakukan pertemuan 3 kali saja, begitupun dengan verifikasi dan validasi keanggotan koperasi sampai saat ini tidak berjalan setelah mendapat hambatan dari pera pengurus koperasi. Sementara pembentukan tim tentu menyertakan penggunaan anggaran daerah tetapi sangat disayangkan tidak menghasilkan apapun dalam upaya penyelesaian masalah,” kata Fatrisia.
FPPB, sambung Fatrisia, menduga bahwa tim yang dibentuk oleh Muchlis tersebut hanyalah motif untuk meredam gejolak aksi-aksi damai yang kerap digunakan petani untuk menuntut tanggung jawab pemerintah. Bahkan terkesan “dimanfaatkan” oleh PT HIP untuk berkilah dari segala tuntutan termasuk dalam proses sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia.
“Kami seringkali mendapat alasan jika perbaikan terkait skema kemitraan akan menunggu hasil kerja dari tim gabungan bentukan penjabat bupati Buol terlebih dahulu, sehingganya FPPB pernah mengusulkan agar tim gabungan tersebut dibubarkan. Tetapi hal, tersebut tidak direspons. Justru petani sawit yang ditemui oleh asisten III Pemerintah Kabupaten Buol saat aksi diminta bersabar dan tidak perlu ada pembubaran tim,” terangnya.
Selain itu, tambah Fatrisia, penjabat bupati Buol juga terkesan tak konsisten lantaran di satu sisi mengeluarkan desakan kepada pengurus koperasi yang bermitra dengan PT HIP agar segera melakukan RAT tetapi di sisi lainnya justru memfasilitasi koperasi-koperasi tersebut kerja sama baru melalui penandatanganan MoU dengan PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI).
“Penandatangan kerjasama dengan PT UKMI semakin memperunyam kemitraan karena kejelasan kemitraan yang masih berlangsung dengan PT HIP selama 16 tahun dan sudah terbukti merugikan petani. Belum selesai satu persoalan, justru dibuat kerjasama baru dengan PT UKMI,” tutur Fatrisia.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan FPPB, PT UKMI merupakan perusahaan yang dibentuk pada 2023 dan diduga tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP). Temuan lain, dalam akta notaris PT UKMI, tercantum kepemilikannya yang masih merupakan sebagian para orang-orang PT HIP.
“Sehinga diduga kuat bahwa peralihan atau memasukan PT UKMI dalam kemitraan yang sedang berlangsung antara PT HIP dengan petani pemilik lahan adalah upaya untuk penguasaan lahan dan sertifikat hak milik petani sebagaimana pembuktian Sidang Putusan Majelis KPPU RI pada 9 Juli 2024,” imbuhnya.
Sebagai pengingat, PT HIP adalah perusahaan sawit anak perusahaan CCM Group milik keluarga Siti Hartati Murdaya yang telah beroperasi di KaBuol sejak 1995. Siti Hartati Murdaya juga merupakan terpidana kasus suap pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) pada 2012 di Buol.