LihatSulteng.com – Upaya penyelesaian konflik agraria yang melibatkan para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Sigi (STS) kontra Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), kini memasuki babak baru.
Dinamika itu mencuat dalam agenda “Dialog Kebijakan: Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang Diusung Organisasi Rakyat” yang dilaksanakan di Sibowi, Senin (14/7/2024). Kegiatan ini difasilitasi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan mempertemukan Serikat Petani Sigi (STS) bersama Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNNL), dua pihak yang berpolemik selama beberapa tahun terakhir lantaran klaim penguasaan lahan.
Hadir pula pihak-pihak lain seperti Pemprov Sulteng, Pemkab Sigi, Kementerian ATR/BPN Sulteng, Kementerian ATR/BPN Sigi, pemerintah kecamatan, pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa, serta institusi kepolisian setempat.
“Bupati Sigi dan Balai Besar TNLL maunya wilayah ini masuk kategori hutan adat. Tetapi, STS mendesak dikeluarkan dari kawasan TNLL dan senada dengan penilaian ATR/BPN yang mengatakan memungkinkan hal itu dan dimasukkan dalam usulan registrasi LPRA,” ungkap Koordinator KPA Sulteng, Doni Moidady, kepada LihatSulteng.com,Rabu (16/10/2024).
Sebagai informasi, Lokasi Prioritas Reforma Agraria atau LPRA adalah konsep yang digagasKonsorsium Pembaruan Agraria(KPA) sejak tahun 2016. KPA menyadari bahwa konsep dan pelaksanaan Reforma Agraria yang tengah dijalankan pemerintah masih keliru dan parsia
Menurut Doni, usulan skema hutan adat justru akan memulai dari awal lagi perjuangan para petani Sigi dan berimbas pada waktu penyelesaian konflik agraria di Kawasan TNLL.
Pandangan Doni sejalan dengan tata cara permohonan hutan adat yang akan melalui delapan langkah, mulai dari permohonan masyarakat hukum adat (MHA), pembentukan MHA, identifikasi MHA, verifikasi dan validasi MHA, penetapan MHA, verifikasi dan validasi MHA, serta penetapan status hutan adat. Semua proses ini akan dimulai dari kepala adat, camat, bupati, hingga pengesahan yang dilakukan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sebagai misal, Hutan Adat Masyarakat Iban Sungai Utik Kalimantan Barat yang telah bermukim di wilayah tersebut sejak 134 tahun lalu alias tahun 1890, status hutan adatnya baru diakui negara pada 20 Mei 2020 lewat Surat KeputusanNomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020. Itupun setelah mereka berjuang sekitar 40 tahun lamanya.
Sementara dalam riset yang dilakukan Rainforest Journalism Fund (2022), pengakuan hutan adat di Indonesia masih menyimpan banyak masalah dan pekerjaan rumah. Bahkan, seluas 2.400 hektare wilayah adat justru digunakan oleh pemerintah demi skema perhutanan sosial seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan.
“Justru dengan memasukkan wilayah yang diklaim petani yang tergabung dalam STS, mereka sebagai organisasi rakyat pengusung secara bersama-sama ikut mengawal proses pendaftaran lahan dalam LPRA. Apalagi pemetaan telah berlangsung dan hampir rampung di tiga desa yaitu Sibowi, Sidondo I, dan Lambara,” jelas Doni.
Sesuai hasil identifikasi LPRA usulan dari STS, sambung Doni, terdapat 275 subjek reforma yaitu 235 laki-laki, 40 perempuan, dua lahan kolektif, satu lahan cadangan yang nanti akan dipergunakan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. LPRA usulan STS meliputi 60.83 hektare di Sidondo I, 207.94 hektare di Sibowi, dan 76.90 hektare di Lambara.
Doni mencontohkan ada tiga lokasi LPRA yang menjadi cerita sukses dari penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
Misalnya, Pergerakan Petani Banten (P2B) di Gunung Anten, Lebak, Banten, yang berkonflik dengan PT The Bantam Preanger dan Rubber, selama hampir tiga dekade sejak 1997. Perjuangan P2B berbuah manis usai LPRA KPA seluas 135 hektare yang digarap 195 keluarga petani, diakui oleh negara pada 27 Oktober 2023.
Keberhasilan P2B soal penyelesaian konflik lewan redistribusi lahan program LPRA, mengikuti capaian positif Serikat Petani Pasundan di Desa Muktisari, Ciamis, Jawa Barat (2023) dan Serikat Petani Minahasa Selatan di Desa Ongkaw, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (2022).
“Memang konsekuensi dari pengusulan LPRA itu wilayah yang diklaim STS akan diturunkan statusnya dari kawasan menjadi APL atau areal penggunaan lain. Selain itu, ATR/BPN berharap usulan STS bisa dimasukkan dalam LPRA prioritas pertama,” terangnya.
Doni juga menegaskan, bahwa LPRA dapat menjadi medium mitigasi konflik sekaligus jalan keluar di tengah ketegangan relasi antara petani-penggarap dan masyarakat adat dengan otoritas kehutanan seperti Balai Besar TNLL yang keberadaannya sudah sejak 1993. “Ini substansi dari reforma agraria, menyelesaikan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan,” imbuhnya.
Pada momentum pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, lanjut Doni, sebaiknya isu-isu penyelesaian konflik agraria menjadi perhatian serius untuk diperdebatkan bagaimana jalan keluarnya, termasuk memastikan keberpihakan pemerintah terhadap subjek paling rentan dalam konflik yakni masyarakat adat dan petani/penggarap.