LihatSulteng.com – Petani sawit di Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, menyesalkan langkah yang diambil oleh PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP) lantaran melibatkan aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam aksi-aksi perundingan imbas skema plasma kemitraan yang sudah berjalan selama 16 tahun terakhir.
Para petani mengaku cukup terkejut atas kehadiran puluhan aparat keamanan gabungan pada 31 Juli 2024 di area kebun kemitraan Amanah 1-PT HIP yang kurun tujuh bulan terakhir berhenti beroperasi karena tuntutan perundingan yang terbuka dan adil kepada anak perusahaan milik grup Central Cipta Murdaya (CCM) itu.
Menurut keterangan petani sawit di Winangun, aparat keamanan gabungan mengaku mendapat laporan dari PT HIP, bahwa akan ada kekisruhan yang melibatkan para petani. Tetapi, para petani kian terkejut sebab kedatangan aparat ternyata untuk mengamankan proses panen yang dinilai petani sebagai paksaan.
Arivin, salah seorang petani sekaligus pemilik lahan kemitraan plasma sawit mengatakan tindakan semacam itu jauh dari prinsip-prinsip adil sebagaimana konsep ideal sebuah sistem kemitraan.
“PT HIP selalu menggunakan pendekatan dengan pengerahan aparat dan laporan-laporan polisi. Itu bukan minta komunikasi namanya, tapi mengintimidasi. Ini jelas melanggar prinsip-prinsip kemitraan,” ujar Arivin dalam rilis yang dibuat Forum Petani Plasma Buol (FPPB), salah satu organisasi yang getol mengadvokasi persoalan kemitraan plasma sawit di Buol.
Menurut Arivin, para petani sawit lainnya turut berjumpa dengan Charles dan Fajar, dua orang yang mengeklaim sebagai legal officer PT HIP. Bahkan, keduanya turut dikawal aparat kemanan gabungan, termasuk satuan pengamanan (satpam) perusahaan.
“Kami juga dipaksa untuk terima semua kesepakatan sepihak yang dibuat oleh PT HIP dengan pihak bank dan pengurus koperasi yang seluruhnya merugikan kami sebagai pemilik lahan,” imbuhnya.
Arivin bilang, PT HIP tidak mau menerima perundingan kendati majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan PT HIP melanggar aturan kemitraan pada 9 Juli 2024 lalu. Soal penghentian sementara operasional kebun ini, tambah Arivin, itu didasarkan pada hak petani selaku pemilik lahan yang sah.
“Jika perusahaan mau adil dan berkomunikasi, mari lakukan secara baik-baik. Bukan dengan cara paksa dan mengintimidasi dengan mengerahkan aparat seperti ini. Kami juga memohon kepada aparat keamanan gabungan untuk berpihak kepada masyarakat dan melihat masalah dengan pelanggaran-pelanggaran hak ini dengan teliti dan adil,” harapnya.
Perlu diketahui, lahan para petani di Winangun diperoleh lewat program transmigrasi berupa pemberian Lahan Usaha (LU) II pada Trasmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM).
Tanah-tanah ini kemudian dikelola secara mandiri dan mampu memberikan hasil untuk kebutuhan sehari-hari maupun keuntungan secara ekonomi.
Namun, kondisi itu berubah setelah PT HIP “merayu” para pemilik lahan dan petani untuk menjalankan skema kemitraan plasma pada 2008. Situasi lalu berbanding terbalik. Dari sebelumnya sebagai lahan penghidupan, menjadi lahan penindasan.
Merespons situasi terkini, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Fatrisia Ain menyebut jika PT HIP telah salah langkah dalam menuruti keinginan petani sawit untuk berunding.
“Pelibatan aparat keamanan gabungan secara berlebihan menunjukan tidak adanya kemauan PT HIP untuk menyelesaikan masalah. Kami berpendapat cara seperti ini justru menjauhkan upaya penyelesaian masalah, padahal sejatinya permasalahan dalam sistem kemitraan usaha adalah ranah keperdataan,” ujar Fatrisia.
Fatrisia yang juga pengurus Koperasi Tani (Koptan) Plasma Amanah—salah satu lembaga yang berseteru dengan PT HIP—menilai langkah para petani atau pemilik lahan menutup kebun kemitraan plasma sawit cukup beralasan.
Sebab, antara 2008-2024, para petani sawit tak beroleh bagi hasil yang setimpal. Pun, PT HIP justru membebankan hutang hingga menggelembung menjadi ratusan miliar kepada petani sawit, meski sebenarnya dalam keputusan KPPU, hutang petani sawit telah lunas lewat penjaminan Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan yang selama ini dimitrakan.
Alasan lainnya, lanjut Fatrisia, lantaran selama ini PT HIP tak pernah mau menuruti tuntutan petani sawit, tetapi justru melakukan upaya-upaya intimidasi dan kriminalisasi. PT HIP, sambung Fatrisia, juga selalu menghindari dialog yang dibuat oleh DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buol.
Adapun terkait keterlibatan aparat keamanan gabungan dalam upaya perundingan petani sawit, Fatrisia mendesak agar pihak Kepolisian Resor (Polres) Buol dan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, cermat mendudukkan permasalahan dalam skema kemitraan antara petani sawit-PT HIP.
“Kami mendesak kepada Kapolda Sulteng untuk menarik pasukan yang ada di Buol khususnya di perkebunan sawit kemitraan dan meminta agar kepolisian netral serta bertindak presisi dalam hal ini,” jelasnya.
Mewakili FFPB, Fatrisia juga mendorong agar kepolisian menghentikan segala proses pemeriksaan yang dibuat oleh PT HIP dengan pengurus Koptan Awal Baru atas dakwaan kasus dugaan penipuan SHM.
“Kepolisian harusnya lebih mengambil peran sebagai pihak yang ikut mendorong penyelesaian masalah secara presisi. Terlebih sudah ada keputusan KPPU RI sebagai lembaga negara yang independen yang menyatakan PT HIP terbukti bersalah dan telah melanggar Pasal 35 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008,” pungkasnya. (RDR)