Empat organisasi pers mengecam kekerasan aparat terhadap mahasiswa dalam aksi kawal putusan MK di Palu

LihatSulteng.com – Kekerasan aparat terhadap mahasiswa dalam aksi kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di Palu, Jumat (23/8/2024), memicu kemarahan dari pelbagai pihak, salah satunya datang dari koalisi lintas organisasi pers yang berbasis di Sulteng.

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulteng, mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap unjuk rasa yang berlangsung di depan Kantor DPRD Sulteng itu.

Ketua PFI Kota Palu, Muhamad Rifky, menegaskan bahwa penanganan aksi dengan kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

“Apa yang terjadi di hari Jumat tadi, adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi mahasiswa yang hanya ingin menyuarakan pendapat mereka. Tindakan represif semacam ini harus dihentikan, karena merusak tatanan demokrasi yang kita perjuangkan,” tegas Rifky.

Hendra, Ketua IJTI Sulteng, menambahkan bahwa tindakan aparat kepolisian tidak hanya berlebihan, tetapi juga tidak manusiawi.

“Mahasiswa berunjuk rasa untuk menentang kebijakan negara yang dianggap merugikan rakyat. Namun, respons dari aparat justru menambah luka demokrasi kita. Polisi seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan pelaku kekerasan,” ujar Hendra.

Baca Juga :  Komunitas Molamamua Wakili Sulteng di Festival Komunitas Informasi Masyarakat 2024

Yardin Hasan, Ketua AJI Palu, menyampaikan bahwa situasi politik yang semakin memanas harus menjadi perhatian serius pemerintah.

“Saat ini, demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk. Pemerintah harus segera menjamin perlindungan bagi media dan jurnalis dalam menjalankan tugas mereka, serta memastikan bahwa penanganan aksi mahasiswa dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi,” kata Yardin.

Sementara itu, Muhamad Iqbal, Ketua AMSI Sulteng, menyerukan agar pimpinan kepolisian segera meninjau ulang pendekatan yang digunakan dalam menangani aksi mahasiswa.

“Kami meminta pimpinan kepolisian untuk mengambil langkah tegas dalam memastikan bahwa penanganan aksi unjuk rasa dilakukan dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Demokrasi Indonesia terancam, dan kita semua–mahasiswa, pers, dan masyarakat–memiliki kewajiban moral untuk membela dan menjaganya,” seru Iqbal.

Berdasarkan informasi yang diperoleh koalisi lintas organisasi pers ini, ada tiga korban kekerasan aparat di pihak massa aksi yang terpaksa dirujuk ke rumah sakit lantaran menderita luka yang cukup serius. Mereka adalah Ayub mahasiswa Fakultas Kehutanan Untad, Rafi Akbar mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Ilmu Komunikasi Untad, serta Throiq Ghifari mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Untad.

Baca Juga :  Gebyar Tanam Pohon Serentak se-Nusantara, KSE Untad tanam 50 bibit pohon mahoni di Sigi

Demonstrasi ini dipicu oleh rencana segelintir elite politik di nasional yang berupaya mendeligitimasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui revisi Undang-Undang (UU) 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Padahal, putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan dan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 soal batas usia pencalonan di Pilkada Serentak 2024, adalah bersifat final dan mengikat.

Tindakan menentang wewenang dari lembaga negara penegak konstitusi lewat perubahan peraturan secepat kilat dianggap sebagai contoh nyata hukum hanya sekadar dijadikan alat bagi para penguasa demi memperkuat kekuatan politik hingga di level daerah.

Menurut para pemimpin organisasi jurnalis ini, mahasiswa sebagai kekuatan moral bangsa, merasa perlu bertindak untuk meluruskan arah perjalanan bangsa yang dianggap sudah menyimpang. Tetapi, respons yang mereka terima justru adalah kekerasan yang mencederai demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  Satgas Madago Raya Sosialisasikan Bahaya Narkoba dan Radikalisme ke Sekolah

Sehingga atas dasar itulah, koalisi lintas organisasi pers di Sulteng ini menyatakan sikap:

Pertama, memprotes keras terhadap penanganan aksi mahasiswa dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada 23 Agustus 2024.

Kedua, permintaan kepada pimpinan kepolisian untuk meninjau ulang dan memperbaiki pendekatan dalam menangani aksi mahasiswa, dengan mengedepankan tindakan yang lebih manusiawi.

Ketiga, peringatan kepada pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan tugas mereka, terutama dalam situasi politik yang semakin kisruh.

Keempat, panggilan kepada seluruh elemen bangsa, terutama mahasiswa dan pers, untuk membela dan menjaga demokrasi Indonesia yang saat ini berada dalam ancaman serius.

Demokrasi Indonesia sedang dalam ujian berat. Saatnya seluruh komponen masyarakat, terutama pers dan mahasiswa, bersatu untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berdiri tegak di negeri ini. (RDR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *