LihatSulteng.com – Dua tuntutan utama dilontarkan oleh Forum Masyarakat Pantai Timur (FMPT) saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Palu, Senin (14/10/2024).
Aspirasi itu terkait ucapan Hadianto Rasyid yang diduga mendiskreditkan wilayah Pantai Timur yang secara administrasi berada di Kabupaten Parigi Moutong, saat berkampanye dalam kapasitasnya sebagai calon wali kota Palu di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Palu 2024.
“Forum Masyarakat Pantai Timur menuntut agar DPRD Sulteng memanggil Hadianto Rasyid agar yang bersangkutan meminta maaf secara langsung kepada masyarakat Pantai Timur. Kami juga mendesak agar Hadianto Rasyid diberi sanksi adat oleh Dewan Adat Sulteng terkait ucapannya tersebut,” ujar Rajab selaku Koordinator Lapangan saat diwawancarai di sela-sela demonstrasi.
“Forum Masyarakat Pantai Timur hadir di sini karena ucapan Hadianto Rasyid saat kampanye di Huntap Talise sangat melukai hati kami karena tidak menjelaskan apa maksud dan tujuannya menyinggung Pantai Timur,” tambah Rajab.
Perlu diketahui, pernyataan Hadianto Rasyid terekam kamera gawai warga saat berkampanye di Kawasan Hunian Tetap (Huntap) Talise, Palu, Sabtu (5/10/2024) malam.
Dalam video yang kemudian viral di pelbagai platform media sosial tersebut Hadianto Rasyid menyebut “Saya khawatir nanti komiu punya kompleks yang indah ini, jangan-jangan jadi seperti kampung di Pantai Timur nanti. Jangan kasihan, jangan.”
Menurut Rajab, ucapan Hadianto Rasyid disambut gelak tawa warga sangat melukai hati masyarakat Pantai Timur. Bahkan, pihaknya geram lantaran Hadi-sapaan karib Hadianto Rasyid–menyentil wilayah Pantai Timur dengan bahasa Kaili, padahal wilayah Pantai Timur terdiri atas beragam suku.
“Ucapan Hadi itu disambung dengan narasi bahasa lokal yakni nasimputare untoku yang sebenarnya kami pahami karena wilayah Pantai Timur bukan hanya dihuni orang-orang Suku Tialo, Lauje, dan lain-lain, tetapi juga Kaili. Di mana artinya nasimputare untoko dari Bahasa Kaili itu adalah berhamburan atau kacau otakku,” jelasnya.
Menurut Rajab, semestinya ketua Partai Hanura Sulteng itu juga menjelaskan apa latar belakang atau alasan membandingkan Kota Palu dan Pantai Timur yang merupakan salah satu sebutan lokal di Kabupaten Parigi Moutong.
“Nah, persoalannya beliau (Hadi, red) tidak spesifik menjelaskan Pantai Timur itu apanya? Apakah masyarakatnya kah atau daerahnya kah? Kami tidak ingin selama Pilkada 2024 berlangsung timbul kegaduhan,” imbuhnya.
Rajab juga menegaskan bahwa desakan pemberian sanksi adat alias givu harus dilakukan sebab wali kota Palu nonaktif tersebut dinilai sala mbivi yang terangkut dari bahasa Kaili yang bermakna kesalahan berucap.
Hal ini juga pernah diberlakukan kepada Ketua Umum PMII Aminuddin Ma’aruf saat memberi sambutan dalam Kongres PMII di Palu pada 16 Mei 2017 dan Musliman Malappa selaku kontraktor PT Citra Palu Minerals pada Agustus 2022 lantaran terbukti sala mbivi oleh dewan adat.
Aksi yang diikuti sekitar 20-an orang dan diwarnai bakar ban tersebut kemudian mendapat persetujuan untuk berdialog langsung dengan empat orang anggota DPRD Sulteng yaitu Sri Indraningsih Lalusu (PDI Perjuangan/Dapil Sulteng IV), I Nyoman Slamet (PDI Perjuangan/Dapil Sulteng II), Yusuf (Golkar/Dapil Sulteng II), dan Marselinus (Perindo/Dapil Sulteng I).
Diskusi sempat berjalan alot dan perdebatan sengit antara legislator dan massa aksi, tetapi berakhir dengan kesepakatan aspirasi akan disampaikan ke pimpinan DPRD Sulteng dan akan dibahas lebih lanjut.