LihatSulteng.com – Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) atau gugatan pihak yang lebih kuat terhadap masyarakat di lingkar tambang Morowali terus terjadi kurun empat bulan terakhir.
Hal itu disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) saat menyoroti pemanggilan lima warga Ambunu, Bungku Barat, Morowali, oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng.
“Abd. Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms, dan Rifiana Ms pada 10 Oktober 2024 lalu dimintai keterangan berdasarkan surat nomor: B/989/X/2024/Diretkrimsus tanggal 4 oktober 2024 atas dugaan tindak pidana mengganggu fungsi jalan,” ungkap Kepala Departemen Program Walhi Sulteng, Yusman, dalam rilis tertulis yang diterima LihatSulteng.com, Selasa (15/10/2024).
Yusman menjelaskan, lima warga Ambunu tersebut dianggap melanggar pasal Undang – Undang(UU) 38/2004 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2 yang menyebabkan terganggunya fungsi jalan yang digunakan PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG).
“15 Juni 2024, Ramadhan dan Hasrun masing-masing bertindak sebagai koodinator dan wakil koordinator lapangan Aliansi Masyarakat Ambunu Bersatu yang memblokade jalan. Kelimanya juga disomasi PT BTIIG lewat surat bernomor: 14/BTIIG-Legal/VI/2024 bertarikh 23 Juni 2024 tentang tindakan pemalangan jalan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas PT BTIIG,” tambah Yusman.
Menurut Yusman, aksi blokade jalan itu dilakukan sebagai bentuk kemarahan warga atas pernyataan salah seorang legal officer PT BTIIG bernama Riski yang menyebut bahwa jalan tani yang berubah menjadi jalan hauling merupakan milik sah PT BTIIG.
Klaim itu, sambung Yusman, berdasarkan perjanjian tukar guling aset bersama bupati Morowali pada 11 Maret 2024, di mana jalan tani itu diserahkan kepada PT BTIIG. Sebagai gantinya, PT BTIIG diminta mengerjakan perluasan lahan Bandar Udara Morowali.
“Padahal jauh sebelumnya, jalan yang menghubungkan Topogaro-Ambunu itu sudah digunakan oleh masyarakat masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju salah satu situs budaya bersejarah bagi masyarakat sekitar yaitu Gua Vavompogaro. Penguasaan lahan sepihak itu juga mengakibatkan masyarakat harus memutar sejauh 3-4 kilometer dari yang sebelumnya hanya sekitar 1 kilometer,” terangnya.
Walhi Sulteng, lanjut Yusman, juga menyampaikan bahwa pencaplokan sepihak atas jalan desa turut terjadi di sejumlah desa lain di kawasan eksplorasi nikel di Morowali seperti Topogaro, Tondo, Wosu, Umpanga, dan Larebonu.
Bahkan, aktivis yang berkutat di organisasi pegiat lingkungan ini juga melaporkan ada lima warga Topogaro dan Tondo yang sempat dilaporkan ke kepolisian dan digugat perusahaan senilai Rp14 miliar.
“Pemanggilan polisi ini merupakan salah satu siasat SLAPP oleh korporasi untuk membungkam warga yang kritis. Itu bisa dilihat dari laporan polisi yang menyasar para tokoh-tokoh kunci yang kerap mengkritisi PT BTIIG. SLAPP juga dilakukan sebagai peringatan keras kepada warga di desa lain agar tidak macam-macam,” jelasnya.
Walhi Sulteng mencatat, sepanjang Juni-Oktober 2024, sudah ada 15 orang warga di lingkar industri nikel terpaksa berurusan dengan kepolisian dan upaya hukum lainya, seperti tujuh warga yang dilaporkan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan delapan warga yang juga dilaporkan PT Indonesa Huabao Industrial Park (IHIP).
Para warga tersebut berurusan dengan hukum setelah melakukan protes atas masalah keberadaan PLTU captive PT IMIP di Desa Labota yang mengakibatkan persoalan lingkungan dan masalah penguasaan jalan desa sepihak di Topogaro, Tondo, dan Ambunu oleh PT BTIIG.
“Dasar hukum yang digunakan dalam pemanggilan warga oleh kepolisian, rata–rata memakai pasal 162 UU 3/2020 tentang Pertambangan dan Minerba. Menganggap bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat menganggu atau merintangi aktivitas perusahaan,” ujar Yusman.
“Pemerintah terlihat gagal melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat dan pekerja di tengah–tengah kepungan industri nikel dengan agenda hilirisasi. Justru malah memfasilitasi kepentingan industri nikel dengan berbagai kebijakan–kebijakannya,” kata Yusman.
Walhi Sulteng, lanjut Yusman, berpandangan ke depannya bakal banyak warga yang berurusan dengan hukum dan menjadi korban imbas dari protes penolakan atas dampak lingkungan yang diakibatkan korporasi, maupun sengketa agraria yang turut mengiringinya.
“Sesuai dengan persoalan ini, Walhi Sulteng mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya pembungkaman warga yang dilakukan oleh PT BTIIG dan PT IMIP. Segera lakukan audit dan pengawasan ketat terhadap aktivitas industri nikel untuk melindungi warga dari ancaman dampak lingkungan dan keselamatan pekerja,” tegasnya.
Perlu diketahui, PT BTIIG dan PT IHIP merupakan dua korporasi yang beroperasi di lingkungan yang sama yakni Kawasan Huabao Industrial Park Investment Group Co. Ltd. di Bungku Barat, Morowali dan berpangkal pada konglomerasi asal Tiongkok bernama Zhensi Holding Group.
Kawasan Huabao Industrial Park Investment Group Co. Ltd. bakal dibangun pada konsesi seluas 20.000 hektare mencakup Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu, dan Wosu. Salah satu kawasan pertambangan nikel terbesar di Morowali selain PT IMIP ini akan menjalani pembagunan dalam dua tahap. Di mana, tahap pertama tengah berlangsung di Tondo, Topogaro dan Ambunu.
Adapun pembagunan Kawasan Huabao Industrial Park Investment Group Co. Ltd. disebut-sebut sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi di bawah slogan “One Belt, One Road Inisiative”.